Menurut bahasa, kata ijtihad (bahasa Arab اجتهاد) merupakan derivatif dari kata jahdu atau juhd. Kata al-juhd berarti al-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) dan kata al-jahdu berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan). Dalam al-quran disebutkan:
وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
artinya: "...dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka..."(at-taubah:79)
Kata al-jahdu beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan. Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:
"...Shallu 'alayya wajtahiduu fii ad-du'a..."
artinya: "...Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam do'a..." (Sunan An-Nasa'i 1: 190, bab 52, hadis ke 1291.)
Dengan demikian kata ijtihad dapat dimaknai "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dalam pengertian umum ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan dan energi sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan. Adapun pengetian ijdtihad secara istilah sebagaimana diungkapkan al-ghazali adalah:
الاجتهاد هو بدل المجتهد وسعه فى طلب العلم باحكام الشريعة
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam'u al-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u al-Jawami', Juz II, hal. 379).
Pengerahan segala kemampuan oleh seorang mujtahid dalam mendapatkan ilmu tentang hukum syara'.
Dari defenisi ini dipahami bahwa dalam ijtihad itu seorang mujtahid mengerahkan segala kemampuannya untuk mengistinbatkan hukum yang terdapat dalam al Quran dan Sunnah.
Ijtihad itu hanya menjadi wewenang mujtahid, karenanya al-Ghazali membatasi ijtihad dalam defensinya tersebut untuk mujtahid saja. Atas dasar ini, pengerahan segala kemampuan oleh orang awwam untuk mengistinbatkan hukum tidak dapat disebut ijtihad.
Abu Zahrah dalam buku Ushul fiqhnya mendefenisikan ijtihad sebagai berikut :
الإجتهاد هو استفراغ الجهد و بذل غاية الوسح إما فى استباط الأحكام الشرعية و إما فى تطبيقها
Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik dalam mengistinbatkan hukum syara’ maupun dalam penerapannya.
Berdasarkan defenisi ini, ijtihad dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
Pertama, ijtihad istinbathi yaitu ijtihad yang dilakukan para ulama khusus untuk mengistinbatkan hukum dari dalil. ijtihad bentuk ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu yang dalam ushul fiqh disebut mujtahid. Menurut jumhur ushul fiqh, ijtihad bentuk ini mungkin saja mengalami kemandekan masa-masa tertentu bilamana hasil ijtihad masa lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul dikalangan umat Islam.
Kedua, ijtihad tathbiqi, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan hukum islam. ijtihad ini akan selalu ada sepanjang masa selama Umat Islam melaksanakan ajaran agama mereka. Mujtahid yang melakukan ijtihad ini berperan untuk menerapkan hukum Islam, termasuk hasil ijtihad ulama terdahulu.
Kalangan Hanabilah berpendapat tidak boleh satu masa kosong dari kegiatan ijtihad karena senantiasa banyak masalah-masalah baru yang muncul untuk segera dijawab.
Di sisi lain ada pengertian ijtihad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah yang terkenal dengan "mashlahat."
Dari definisi tersebut juga dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
- Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi,
- Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam'u al-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u al-Jawami', Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Wallahu a'lamu bish Showab...
assalamualaikum,terimakasih atas penjelasannya,semoga jadi ladang amal
BalasHapus