Langsung ke konten utama

Taat Ritual Sholeh Sosial

Salam, Semoga kita semua senantiasa dalam hidayah dan lindungan-Nya. Hari ini ada catatan yang saya kira perlu untuk kita jadikan bahan renungan bersama.

 

Ini pengalaman seorang Ustad dari Bandung:

“Pada tahun 80-an, saya sedang bersiap-siap untuk takbiratul ihram di sebuah masjid besar di Bandung. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh tendangan pada kaki saya. Hampir-hampir saya terjatuh. Saya menengok ke belakang dan melihat wajah anak muda yang garang. Ia memerintah, ‘Lipat celanamu sampai ke atas mata kaki!’ Saya melihat kaki-kaki jamaah yang lain. Memang benar, semuanya melipat celananya sampai ke atas mata kaki. Saya pun menuruti perintah ‘polisi syariat’ itu.”

Di masjid Lahore, India, seorang santri ditanya tentang kebenaran sebuah kejadian di Afghanistan,

Ada seseorang yang sedang shalat melihat kawan di sampingnya menggerakkan telunjuk ketika mengucapkan kalimat tasyahhud pada tahiyyatnya. Ia memukul jarinya dengan keras sehingga patah. Santri itu menjawab, “Memang, peristiwa itu terjadi.” Ketika ditanya apa sebabnya, ia menjawab bahwa orang itu sudah melakukan hal yang haram dalam shalat, yaitu menggerakkan telunjuknya. Ketika ditanyakan lagi apa keterangan yang menunjukkan haramnya menggerakkan telunjuk, santri itu menunjuk kitab fikih yang ditulis oleh Syaikh al-Kaydani.

Cerita lainnya, masih dari Afghanistan.

Seorang pengikut mazhab Hanafi mendengar seorang makmum membaca al-Fatihah di belakang imam. Ia memukul dada orang itu dengan kuat sehingga ia terjengkang jatuh ke belakang. Dalam fikih Hanafi, membaca al-Fatihah hanya wajib bagi imam dan orang yang shalat munfarid.

Di sebuah masjid di Kairo, shalat shubuh diulang karena imamnya tidak membaca Hâmîm Sajdah. Agak mirip dengan kejadian ini, pengalaman salah seorang dosen Universitas Al-Azhar, Muhammad Abdul Wahab Fayid. Ia bercerita:

“Aku menjadi imam shalat maghrib di sebuah masjid besar di al-Aryaf. Aku tidak mengeraskan bacaan basmillah dalam al-Fatihah. Usai shalat, salah seorang yang mengaku sebagai ulama berteriak, ‘Saudara-saudara, ulangi shalat kalian! Karena shalat kalian batal!’ Seorang muadzin kemudian menyampaikan iqamat dan ulama yang berteriak itu menjadi imam shalat maghrib yang kedua. Aku sendiri merasa bimbang dan karena itu aku ulangi shalat itu di belakang dia bersama orang banyak.

Setelah selesai shalat, aku menemuinya dan berkata padanya, ‘Saya ini sudah shalat di belakang engkau untuk kedua kalianya. Tetapi saya ingin tahu apa kesalahan saya sehingga shalat saya menjadi batal.’ Ia berkata, ‘Karena engkau tidak membaca bismillah pada awal al-Fatihah.’ Aku berkata, ‘Saya membacanya di dalam hati.  Ada hadits yang menerangkan membaca bismillah dengan sirr sebagaimana ada hadits yang menerangkan membaca bismillah denga jahar.  Bahkan Imam Malik berkata, ‘Membaca bismillah itu makruh.’ Saya tidak yakin bahwa seorang yang berakal apalagi seorang Muslim akan berkata bahwa shalat Imam Malik seluruhnya batal. Yang diyakini oleh para ulama ialah bahwa Imam Syafi’i, jika ia shalat di belakang Imam Malik dan tidak mendengar bacaan basmallah, ia tidak meninggalkan shalatnya itu. Bahkan ketika disampaikan kepadanya bahwa jika sekiranya Imam Hanafi berwudhu dan setelah berwudhu menyentuh kemaluannya, sahkah shalat Imam Syafi’i di belakangnya? Imam Syafi’i menjawab, ‘Mana mungkin aku tidak shalat di belakang Imam Hanafi.’”

Kita kutip kisah lainnya. Kali ini dialami oleh guru besar dan pendiri organisasi al-Ikhwan al-Muslimun, Imam Hasan al-Banna.

Pada permulaan malam Ramadhan, ia datang ke sebuag masjid di Mesir. Ia menemukan jamaah masjid itu sudah terbelah menjadi dua. Mereka sedang bertengkar berhadap-hadapan dengan suara yang keras. Satu kelompok menjelaskan bahwa tarawih yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. adalah sebelas rakaat. Kelompok lainnya, dengan merujuk pada hadits, menegaskan bahwa shalat tarawih dengan duapuluh tiga rakaat lebih utama. Imam Hasan al-Banna bertanya kepada kedua kelompok itu, “Apa hukumnya shalat tarawih?” Keduanya menjawab, “Sunat!” Beliau bertanya lagi, “Apa hukumnya bertengkar di Rumah Tuhan dengan suara keras?” Keduanya menjawab (mungkin dengan suara lirih), “Haram!” Beliau bertanya, “Mengapa kalian lakukan yang haram untuk mempertahankan yang sunat?”

Pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah-kisah nyata di atas antara lain bahwa sebagian (besar) umat ini masih terperangkap pada pemahaman yang fikih oriented. Yaitu pemahaman keagamaan yang menjadikan aturan-aturan fikih sebagai acuan atau tolok ukur keberagamaan seseorang. Bahkan lebih dari itu, aturan-aturan fikih berdasar versi mazhab tertentu menjadi ukuran sah-tidaknya, diterima-ditolaknya sebuah ibadah ritual tertentu seperti shalat. Ketika perangkat aturan fikih menjadi panglima, maka tidak heran jika kemudian banyak muncul “polisi syariat” yang akan dengan enteng menendang kaki orang yang mengenakan celana di bawah mata kaki sewaktu shalat. Atau memukul jari kawannya sampai patah yang menggerakkan telunjuk ketika mengucapkan kalimat tasyahhud. Atau memukul dada seorang makmum sampai terjengkang yang membaca al-Fatihah di belakang imam. Atau menyuruh jamaah untuk mengulang shalat karena sang imam tidak membaca bismillah pada awal al-Fatihah. Atau bertengkar soal jumlah rakaat shalat tarawih. Dan semacamnya.

 

Ya, harus diakui bahwa model keberagamaan sebagian kita masih berkutat di ranah fikih. Perhatikan, bagaimana kita begitu teliti meluruskan shaff shalat. Tentu saja, meluruskan shaff shalat baik dan dianjurkan adanya. Akan tetapi di luar shaff shalat ada yang lebih utama untuk diluruskan, yaitu shaff umat yang hingga kini tak jua sejurus-searah. Lurus dan rapatnya shaff shalat sesungguhnya mengajarkan para jamaah shalat untuk meluruskan dan merapatkan barisan umat. Lurus dan rapat dalam membahas persoalan umat, dalam memecahkan persoalan umat, dan dalam menghadapi semua masalah yang dihadapi bersama. Umat ini dicanangkan Allah seperti tergambar dalam ayat berikut:

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS al-Shaff/61: 4).

Kata-kata “yang berperang di jalan Allah” tidak harus hanya diartikan perang fisik melawan musuh di medan tempur. Berperang melawan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketertindasan dan penjajahan dari tubuh umat juga termasuk perang di jalan Allah. Di ayat lain al-Qur`an menggambarkan tentang bagaimana seharusnya umat Islam:

Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS al-Anbiyâ`/21: 92).

“Umat yang satu” tidak hanya satu di tataran nominal. Melainkan satu dalam segala lini kehidupan, satu dalam arti yang sesungguhnya; satu rasa, satu orientasi, satu semangat, satu jiwa dan satu komando, meskipun tidak harus satu mazhab fikih dan corak pemikiran.

 

Ketika waktu shalat menjelang, azan berkumandang, disusul seruan iqamat. Azan yang mengandung takbir, syahadat, dan ajakan untuk mendirikan shalat serta seruan untuk menuju kebahagiaan, memang harus dikumandangkan dan harus direspon secara aktif-positif. Hanya saja, ke-sregep-an kita mengumandangkan nama-Nya di mushalla, surau dan masjid haruslah diikuti dengan semangat kita untuk meneriakkan kemaslahatan umat yang sebagiannya masih saja akrab dengan jerit-tangis di tengah himpitan kemiskinan, di bawah desingan peluru, dan di tengah konflik berkepanjangan.

 

Kita akan sangat tersinggung jika nama-Nya dilecehkan. Kita akan amat terhina ketika kebesaran-Nya dihinakan. Kita akan sangat murka ketika keagungan-Nya dicibir. Setiap Muslim memang dituntut untuk membela nama-Nya, mempertahankan kebesaran-Nya, dan menegaskan keagungan-Nya. Akan tetapi setiap kita juga dituntut untuk memperjuangkan nasib umat-Nya. Bahkan seandainya tidak ada satu pun di dunia ini yang mau membela nama-Nya, Allah tetaplah Dia, Maha Agung, Maha Besar. Lain lagi dengan umat-Nya, jika bukan sesamanya, siapa yang akan membela dan memperjuangkan nasibnya? Bagi Allah mudah saja mengubah nasib siapa pun.

 

Maka, jika Anda orang kaya, janganlah merasa atau punya pikiran bahwa kekayaan Anda itu datang murni hasil jerih payah sendiri. Bagi manusia, tidak ada yang benar-benar milik dan hasil usaha sendiri. Benar sabda Nabi Saw.:

Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezki kecuali atas jasa orang-orang lemah dari kalian (HR al-Bukhârî).

 

Maka shalat, dan ibadah-ibadah ritual lainnya, menitahkan kita untuk membantu yang lemah. Membantu yang lemah sebenarnya memperkuat yang kuat. Pandangan bahwa membantu yang lemah sebenarnya memperkuat yang kuat disebut solidaritas. Bantuan yang kita berikan sebetulnya bukan anugerah, tetapi harga yang harus kita bayar untuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pada kehidupan sosial yang makro, uluran tangan pihak yang beruntung akan memperkukuh integrasi sosial. Sebaliknya, acuh-tak acuh atas penderitaan orang lain akan berbalik menjadi bumerang.

 

Namun, dalam kenyataan, yang sering kita dapati adalah bahwa kita begitu fasih membela keagungan-Nya. Tapi kita tutup telinga dari derita-nestapa saudara-saudara kita yang bahkan untuk sesuap nasi saja harus meminta-minta. Begitu fasih kita lantunkan ayat-ayat-Nya. Tapi kita bisu seribu bahasa terhadap aneka kezaliman keseharian di hadapan kita. Begitu lantang kita mengeja sifat-sifat-Nya. Tapi kita kehabisan tenaga untuk sekadar berkata “tidak” pada pemerkosaan atas kemanusiaan. Begitu pintar kita memetakan umat berdasar mazhab fikih anutan mereka. Tapi pengetahuan kita tumpul mendata beragam persoalan yang melilit kehidupan umat. Begitu lancar kita menyebutkan definisi- definisi fikih ibadah karya ulama 1000 tahun yang lalu. Tapi kita buta peta kelemahan umat dewasa ini di banyak bidang. Begitu nyaman kita tuding orang tak sepaham sebagai “bukan kita.” Tapi kita tak peduli tentang arti penting saling-memahami dan keterbukaan. Begitu santai kita menempatkan kelompok beda pandangan sebagai bukan firqah nâjiyah. Tapi kita lupa bahwa ukuran kemuliaan di sisi-Nya bukan jas kelompok atau seragam golongan. Begitu lantang kita kutuk siapa pun yang tak semazhab sebagai tak berhak atas rahmat-Nya. Tapi kita lupa bahwa kasih-sayang-Nya meliputi segalanya.

 

By Abad Badruzaman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syair Gus Dur (Tanpo Waton) Bahasa Indonesia

"Bila nama besar Bung Karno tempoe doeloe –terutama di luar negeri– melebihi Indonesia atau katakanlah Indonesia adalah Bung karno dan Bung Karno adalah Indonesia, ada saatnya nama besar Gus Dur melebihi NU atau katakanlah NU adalah Gus Dur dan Gus Dur adalah NU ."( Gus Mus ) Syair " Tanpo waton " atau yang lebih kita kenal sebagai syair " Gus Dur " ini disusun oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) –rahimahullah- dua  bulan menjelang beliau wafat. Dari sumber lain juga disebutkan bahwa sebenarnya syair ini di ciptakan oleh hadratus syeikh Hasyim Asy'ari (Kakek Gus Dur) yang kemudian di kumandangkan lagi oleh Gus Dur. Isi syair berbahasa jawa ini sarat dengan nilai-nilai spiritual yang sangat patut kita resapi makna dibaliknya. Berikut adalah isi syair Gus Dur (Tanpo Waton) yang sudah saya lengkapi dengan translete(terjemah)nya dalam bahasa Indonesia dibagian bawah. Untuk file mp3 -nya bisa di download disini : ا ستغفرالله رب البرايا # استغفرالل

Perkembangan Fiqh Pada Masa Khulafaur Rasyidin

Jika pada artikel sebelumnya saya sudah menulis tentang bagaimana perkembangan ilmu fiqh pada masa Rosulullah , maka pada tulisan kali ini akan kita bahas tentang perkembangan ilmu fiqh pada masa Khulafaur Rasyidin. Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut. Bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat. Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Madinah, maka kesepakatan para sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar ini menjadi Ijma’ yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti o

Biografi KH. MA. Sahal Mahfudz

DR. KH. MA. Sahal Mahfudz Nama lengkap KH. MA. Sahal Mahfudz (selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937. Beliau adalah anak ketiga dari enam bersaudara yang merupakan ulama kontemporer Indonesia yang disegani karena kehati-hatiannya dalam bersikap dan kedalaman ilmunya dalam memberikan fatwa terhadap masyarakat baik dalam ruang lingkup lokal (masyarakat dan pesantren yang dipimpinnya) dan ruang lingkup nasional. Sebelum orang mengenal Kyai Sahal, orang akan mengenalnya sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Dengan penampilan yang sederhana orang mengira, beliau sebagai orang biasa yang tidak punya pengetahuan apapun. Namun ternyata pengetahuan dan kepakaran Kyai Sahal sudah diakui. Salah satu contoh, sosok yang menjadi pengasuh pesantren2 ini pernah bergabung dengan institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu menjadi anggota BPPN3 selam